Langsung ke konten utama

Semestinya Pesantren

"Menurut K. H Hasan Abdullah Sahal"


Santri itu mendapat kekuatan dari Allah, memiliki kemauan dan kemampuan. Merekalah sumber kekuatan pemberontakan terhadap penjajah dan penjajahan.

Penjajahan itu musuh kemanusiaan. Pesantren membebaskan manusia dari belenggu pembudakan diri menuju pembudakan hanya kepada Allah semata. Dalam tahrīru al-insan (‘pembebasan manusia’) dan tahrīru al-bilād (‘pembebasan negeri’) santrilah subjeknya, santrilah pemeran utamanya. Inilah salah satu keunikan pesantren yang harus dipelihara.

Ada qaidah fiqhiyyah “al-hukmu yadūru ma'a 'illatihi wujūdan wa 'adaman”. Bisa diartikan, adanya suatu hukum karena ada sebabnya. Hukum berlaku tergantung ada atau tidaknya sebab yang disepakati bersama oleh para ulama itu. Sekarang kaidah itu berubah menjadi “al-hukmu yadūru ma‘a al-fulūs”. Berlaku tidaknya suatu hukum ditentukan oleh uang. Uang telah menjadi raja dan mengatur hukum kita. Sekarang ini orang-orang tidak lagi berbicara tentang halal dan haram, tetapi tentang untung dan rugi. Na‘ūdzubillah!

Katakanlah yang benar itu benar, yang salah itu salah. Katakanlah yang haram itu haram dan yang halal itu halal. Jangan karena uang atau kepentingan, yang benar dikatakan salah dan yang salah kamu katakan benar. Atau, yang halal kamu katakan haram dan yang haram kamu katakan halal. Nyatakanlah kebenaran, jangan membenarkan kenyataan yang jelas-jelas salah!

Ketahuilah! Pesantren itu tempat isti‘lāu Islam, isti‘lāu īmān, dan isti‘lāu ihsān. Pesantren itu tempat meninggikan Islam, mengokohkan iman, dan menigkatkan ihsan. Namun, banyak ulama dan kiai yang malah meneror pesantren. Ternyata, Islam itu diteror oleh orang Islam sendiri. Memang, terkadang kita tidak menyadarinya. Pesantren telah dimarginalkan, dipinggirkan, disisihkan, dan mau disingkirkan. Tanpa sadar, kita dijadikan sebagai maf'ūlun bih (‘objek’) atau sasaran alias budak. Kita tidak pernah menjadi fā‘il (‘subjek’) atau aktor alias penggerak. Seharusnya, kamu jangan sampai mau menjadi ujung tombak, tapi jadilah penembak, jadilah penggerak tombak itu.

Karena itulah, seperti apa kamu, seperti itulah pemimpinmu. Begitulah, “kamā takūnū yuwallā 'alaikum".

Akan tetapi, bagaimanapun keadaan kita saat ini, kita harus terus bersyukur karena masih ada pesantren yang menjadi benteng negara ini. Pesantren ada untuk mengajari presiden, bukanlah presiden yang mengajari pesantren.

Sadarlah! Kita ini besar, tinggi, karena di atas kita hanya Allah dan di bawah kita hanya ada tanah. Maka, jangan pernah mau diperbudak oleh sikon (situasi dan kondisi)! Itulah setan. Itulah tipu daya setan.

Ingatlah baik-baik! Islam itu bukan rahmatan li al-'ālamīn. Islam itu dīn. Yang rahmatan li al-‘ālamīn itu nabi kita, Rasulullah Saw. Islam itu hukum. Islam itu kehidupan. Jagalah syari‘ah Islamiyah kita. Pesantren merupakan salah satunya, bahkan satu-satunya tempat yang berhak dititipi dan mendapat amanat mempertahankan benteng syari'ah Islamiyah.

Dengarkan... "lā yajtami‘u al-kufru wa al-'adlu". Kekafiran dan keadilan itu tidak bisa disatukan, tidak bisa bersanding menyatu. Jadi, tidak mungkin seorang kafir bisa menjadi pemimpin yang adil. Karena, orang yang kafir itu secara tidak langsung sudah bersikap tidak adil terhadap dirinya sendiri. Kenapa? Karena dia tidak percaya pada Tuhan satu-satunya yang wajib disembah, yaitu Allah.

Karena itu, janganlah takut menjadi minoritas pemegang kebenaran di negeri ini. Minoritas benar lebih baik daripada mayoritas salah. Minoritas di jalan kebenaran lebih baik daripada kamu menjadi mayoritas di jalan yang salah atau sesat. Ketahuilah, nabi-nabi dan tokoh-tokoh pejuang tauhid itu terlahir dari kaum minoritas. Allāhu akbar!*

*Disarikan dari nasihat Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, K.H. Hasan Abdullah Sahal, pada acara pembukaan “Muktamar Halaqoh BEM Pesantren Se-Indonesia”

di Universitas Darussalam Gontor, Jum‘at, 29 April 2016.

Komentar